Displaying items by tag: Artikel

Selasa, 14 Februari 2023 16:22

Menggugat Waris, Durhakakah?

 

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Beberapa waktu lalu ada berita viral di dunia hukum. Sebagaimana banyak ditulis oleh media, baik cetak maupun elektronik, seorang anak di Situbondo nekat menggugat ayah kandungnya sendiri di Pengadilan Agama setempat. Perempuan bernama Nofiandari Safira ini menggugat rumah yang ditempati tergugat yang tak lain ayah kandungnya sendiri, pada Selasa 31 Januari 2023.  Gugatan Nofiandari ini konon membuat ayahnya Bambang Purwadi shock. Dia tidak menyangka anak yang dirawatnya sejak kecil tega menggugat dirinya saat usianya sudah senja. Bahkan, anaknya itu berusaha keras mengusir sang ayah dari rumah yang ditempatinya. 

Selain karena usia yang telah menua, pensiunan salah satu pegawai badan usaha milik negara ini tengah dalam kondisi sakit komplikasi. Tetapi belakangan diketahui, alasan sang anak menggugat karena Bambang Purwadi sepeninggal ibunya menikah lagi dengan perempuan lain. Si anak rupanya khawatir kalau objek sengketa (satu-satunya) itu kemudian dikuasasi ibu tirinya jika sang ayah meninggal.

Inilah penggalan kasus yang ketika artikel ini ditulis belum diketahui bagaimana endingnya karena masih dalam pemeriksaan hakim. Hakim pasti akan mengetahui detail kasus setelah kedua belah pihak mengemukakan peristiwa yang sebenarnya menurut versinya masing-masing beserta pemeriksaan sejumlah bukti sebagai pendukung dalil-dalil mereka. 


Selengkapnya KLIK DISINI

Published in Artikel
Tagged under
Minggu, 01 Januari 2023 16:22

2023, Harus Lebih Baik

 

Oleh: Drs. Arief Hidayat, S.H., M.M.

(Sekretaris Ditjen Badilag MA-RI)

“Capaian besar itu adalah gabungan dari banyaknya capaian-capaian kecil. Sangat disadari bahwa ada banyak "tangan" dan "orang" di balik setiap proses” Apa capaian yang telah didapat pada tahun 2022? Tentu banyak target yang telah dibuat, dan banyak pula target yang telah dicapai.

Berhasil mencapai kesuksesan, berhasil mencapai target bukanlah hal yang mudah. Namun dengan tekat yang kuat, dengan tim yang hebat, serta dukungan dari banyak pihak, semua bisa dicapai.

Diyakini atau tidak, capaian besar yang kita raih saat ini merupakan gabungan dari banyaknya capaian kecil yang telah kita raih sebelumnya. Itu semua merupakan campur tangan dan hasil karya tangan-tangan kreatif orang-orang yang tulus dan ikhlas berbuat demi nama sebuah lembaga.


Selengkapnya KLIK DISINI

Published in Artikel
Tagged under

Irman Fadly

(Ketua PA Pacitan)

 

Meskipun telah banyak perangkat hukum yang dibuat dalam memastikan hak-hak perempuan dan anak terpenuhi, namun tetap saja di lapangan masih banyak terjadi pengabaian terhadap hak-hak perempuan dan anak.

Mahkamah Agung sudah banyak menerbitkan instrumen hukum dalam upayanya melindungi hak-hak perempuan dan anak, salah satunya adalah Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 3 tahun 2017 yang mengatur aparat hukum dalam memperlakukan Perempuan yang berhadapan dengan Hukum.

Sebagai Peradilan yang paling banyak menerima dan menangani perkara-perkara perdata rumah tangga di Indonesia, Peradilan Agama melalui rumusan kamar Agama MA RI telah banyak membuat pedoman bagi Hakim dalam memeriksa perkara dan memastikan hak-hak istri dan anak terpenuhi.

Pada tahun 2017, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2017 ada rumusan kamar agama yang menyatakan kewajiban membayar nafkah-nafkah yang timbul akibat perceraian, dicantumkan dalam amar putusan dengan ketentuan dibayar sebelum ikrar thalak dilaksanakan.

Pada tahun 2018 terbit Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 dengan rumusan kamar agama yang menegaskan kebolehan istri dalam menuntut nafkah akibat perceraian meskipun dalam perkara cerai gugat selama istri tidak terbukti nusyuz.

Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2019 menghimbau kepada Hakim yang menangani perkara cerai gugat yang mengabulkan tuntutan nafkah bagi istri, agar mencantumkan juga amar putusan yang mengharuskan mantan suami untuk membayar kewajibannya sebelum mengambil akta cerai.

Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2021 menjangkau lebih jauh lagi kepada barang-barang milik suami yang dapat diajukan sita untuk menjamin terpenuhinya nafkah istri dan anak.

Lima tahun terakhir ini sudah banyak putusan-putusan dalam lingkungan Peradilan Agama yang memberikan hak-hak bagi istri dan anak, baik secara ex officio maupun mengabulkan tuntutan pihak istri. Sayangnya perangkat hukum bahkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak bisa serta merta dirasakan manfaatnya oleh istri dan anak karena berbagai kondisi yang menyertainya.

 

Celah Hukum Dalam Perkara Cerai Thalak

Pada tahun 2019 di Pengadilan Agama Singaraja, pernah ada advokat yang mengadukan penderitaan kliennya akibat suami kliennya tidak jadi mengikrarkan thalak dengan alasan menghindari pembebanan nafkah istri yang terlalu besar, padahal putusannya telah sampai kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap.

Biaya dan waktu yang panjang dalam mengawal keadilan bagi kliennya yang berkedudukan sebagai istri/Termohon sampai dengan tingkat kasasi harus sirna dan sia-sia karena pihak suami (Pemohon Cerai Thalak) dengan enteng berkelit dari sidang ikrar thalak. Tinggallah istri yang tetap disia-siakan sampai akhirnya terganggu kejiwaannya (stress), sedangkan suaminya menikah lagi dengan perempuan lain secara sirri.

Kondisi ini banyak terjadi di pengadilan agama di mana banyak perkara-perkara cerai thalak yang diajukan suami (Pemohon), namun setelah mengetahui amar putusannya dibebankan untuk membayar nafkah untuk istri dan anak, akhirnya suami lebih memilih untuk menghindari pembebanan tersebut dengan konsekuensinya dia tidak jadi menjatuhkan thalak kepada istrinya. Dia lebih memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan istri sirri daripada bertanggungjawab memberikan nafkah iddah, Mut’ah dan nafkah anak akibat bercerai dengan istrinya.

Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 50 tahun 2009 disinyalir menjadi biang keladi larinya para Pemohon Cerai Thalak dari kewajibannya untuk memenuhi akibat perceraian bagi istri dan anak. Pasal ini juga yang membuat marwah dari putusan Pengadilan hilang atau tak bernyawa karena sangat mudahnya pihak Pemohon lari dari pelaksanaan putusan.

Pasal 70 ayat (6) menggugurkan kekuatan mengikat dari putusan cerai thalak apabila suami tidak jadi menjatuhkan thalaknya di depan persidangan. Jika suami tidak datang pada sidang penyaksian ikrar thalak setelah diberi waktu 6 bulan maka dengan sendirinya kekuatan hukum dari putusan tersebut gugur. Perceraian dianggap tidak pernah terjadi dan ikatan perkawinan dianggap masih utuh.

Pasal-pasal yang sedianya mengakomodir dan ingin menjaga ciri khas dari fiqh yang menyatakan thalak ada pada suami sehingga suami yang berhak menjatuhkan thalak di depan sidang, pada hari ini pasal tersebut menjadi batu sandungan bagi terpenuhinya hak istri dan anak bahkan yang lebih parah dari itu adalah putusan Pengadilan yang bisa dipermainkan.

Diperlukan terobosan-terobosan yang lebih jauh, bahkan kalau perlu keluar dari pakemnya agar tidak ada lagi perempuan-perempuan dan anak-anak yang menderita berkali lipat. Seakan-akan rumah tangga yang pecah tidak cukup menghancurkan hidup perempuan dan anak mau ditambahkan lagi dengan pengabaian terhadap hak-haknya pasca perceraian.

 

Mediasi Sebagai Instrumen Paling Efektif Dalam Pemenuhan Hak Istri dan Anak

Dengan diakui adanya kategori mediasi berhasil sebagian dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 Bagian Kelima, khususnya Pasal 31. Mediator lebih berpacu dalam menciptakan kesepakatan-kesepakatan para pihak. Mediator bisa lebih fleksibel mengkondisikan para pihak menuju kesepakatan. Tentu tujuan dari mediasi adalah perdamaian bagi para pihak. Dalam perkara perceraian, kembali rukun dan harmonisnya para pihak tentu menjadi tujuan dari mediasi, namun pada prakteknya memediasi perkara perceraian lebih sulit daripada memediasi perkara kebendaan. Perkara perceraian lebih kepada urusan hati/bathin yang sulit sekali bisa diukur dan dituangkan dalam kesepakatan, sementara perkara kebendaan dapat diukur, dibagi, dikurangi atau bahkan dilebihkan demi tercapainya perdamaian.

Perma nomor 1 tahun 2016 memacu mediator agar tidak surut mendamaikan para pihak meskipun dalam hal perceraian para pihak sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk rukun. Mediator harus memastikan setelah perceraian terjadi pihak yang rentan yaitu istri dan anak harus mendapatkan hak-haknya. Di sinilah peran besar mediator diperlukan dalam mengelola isu-isu pasca perceraian dan memberikan pemahaman kepada suami/Pemohon tentang pentingnya tanggung jawab suami kepada istri dan anaknya setelah perceraian terjadi.

Jika Pemohon berhasil dicerahkan dan disadarkan oleh Mediator, maka pemenuhan hak-hak istri dan anak pasca perceraian tentu lebih mudah direalisasikan.

Pada tahap ini mediator dapat meminta para pihak menyebutkan nilai nominal dari nafkah-nafkah yang dibutuhkan pasca perceraian termasuk juga kesanggupan dan kemampuan Pemohon. Sebagai jaminan Mediator perlu meminta Pemohon untuk menyebutkan harta/benda yang dapat menjamin terpenuhinya hak istri dan anak setelah perceraian terjadi. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya infiltrasi dari pihak ketiga kepada Pemohon yang dapat merubah niat dan tekadnya dalam memenuhi kewajibannya setelah bercerai.

 

Lembaga Rekonvensi Sebagai Instrumen Efektif Pemenuhan Hak Istri dan Anak Pasca Perceraian 

Selama ini lembaga Rekonvensi memang menjadi alat yang ampuh dalam menakuti-nakuti pihak lawan yang pertama memulai mengajukan perkara (Penggugat/Pemohon). Banyak dari perkara-perkara gugatan perdata tersebut akhirnya urung dilanjutkan, bahkan akhirnya orang yang pertama kali memulai perkara menjadi pihak yang kalah atau merugi akibat serangan balik yang dilancarkan oleh lawannya. Ibarat dalam permainan sepakbola, sekalipun lawan sering menyerang, namun cukup dengan sekali serangan balik yang efektif dapat menciptakan gol ke gawang lawan yang lengah pertahanannya akibat terlalu agresif dalam menyerang.

Dalam perkara-perkara perdata, merupakan hal biasa jika pihak lawan mengajukan rekonvensi bahkan tuntutan rekonvensinya bisa lebih besar dari pada tuntutan awal (konvensi), hal ini sering terjadi dalam sengketa kebendaan, seperti gugatan Perbuatan Melawan Hukum, Wanprestasi, sengketa waris, pembagian harta bersama, bahkan dalam perkara perceraian.

Dewasa ini banyak dari pihak suami yang mengajukan permohonan izin thalak digugat balik oleh istrinya yang menuntut hak-haknya sebagai istri dipenuhi, seperti tuntutan nafkah madhiyah (masa lampau) yang tidak diberikan oleh suami selama masa perkawinan, tuntutan nafkah iddah, tuntutan mut’ah, nafkah anak bahkan sampai tuntutan pembagian harta bersama yang bisa bikin suami garuk-garuk kepala akibat pusing dengan tuntutan istri yang akan diceraikannya.

Fenomena banyaknya istri yang mengajukan gugatan balik atau rekonvensi diyakini karena makin tingginya kesadaran perempuan terhadap hak-haknya dalam rumah tangga, selain itu juga merupakan hasil dari sosialiasi panjang para pemangku kepentingan terhadap pentingnya pemenuhan hak istri dan anak dalam rumah tangga.  

Banyak diantara perkara permohonan cerai thalak tersebut yang di akhir putusannya selain mengabulkan perkara pokoknya yaitu mengizinkan suami/Pemohon untuk ikrar thalak juga mengabulkan gugatan rekonvensi istrinya terkait dengan pemenuhan hak istri dan anak. Suami selaku Pemohon akhirnya dihukum untuk membayar hak-hak istri dan anak sebelum ikrar thalak dilaksanakan.

Namun sayangnya gugatan rekonvesi yang diajukan oleh istri kebanyakan tidak disertai permohonan sita atas barang yang dimiliki oleh suami (Pemohon) sehingga di kemudian hari saat mantan suaminya lalai dalam memenuhi hak istri dan nafkah anak, istri kesulitan untuk mengidentifikasi dan memohon eksekusi atas barang milik mantan suaminya tersebut.

SEMA nomor 5 tahun 2021 telah membuka jalan bagi para istri untuk menuntut hak-haknya sekaligus mengajukan permohonan sita atas barang-barang milik suaminya dalam rangka menjamin terpenuhi hak istri dan anak pasca perceraian. Berdasarkan SEMA tersebut, menurut penulis, tidak ada salahnya jika Hakim sekedar mengingatkan istri (Penggugat Rekonvensi) atas kebolehan mengajukan sita terhadap barang milik suaminya (Tergugat Rekonvensi).

 

Ingkarnya Suami/Pemohon Dalam Menjalankan Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

Ketidaksiapan suami/Pemohon dalam menerima serangan balik dari istrinya/Termohon mengakibatkan Pemohon ingkar dan tidak mau melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Pengadilan. Paling tidak ada 2 kondisi di mana Pemohon ingkar dalam melaksanakan putusan Pengadilan:

  1. Pemohon tidak jadi mengucapkan ikrar thalak dengan cara tidak hadir dalam persidangan pengucapan ikrar thalak;

Kondisi ini terjadi bilamana Pemohon tidak bersedia atau mungkin tidak sanggup dalam memenuhi isi putusan Pengadilan. Saat sidang ikrar thalak dilaksanakan ternyata Pemohon mangkir dari persidangan sehingga Majelis Hakim harus menutup persidangan dengan catatan menunggu sampai Pemohon lapor selama masa 6 bulan, setelah itu jika Pemohon tidak juga melapor maka Putusan dinyatakan gugur kekuatan hukumnya.

Ada yang aneh dan terasa tidak adil dalam proses tersebut di mana istri yang juga berkedudukan sebagai Penggugat Rekonvensi punya kepentingan terhadap dilaksanakannya ikrar thalak dan terpenuhinya biaya/nafkah istri dan anak akibat perceraian, namun tidak bisa mengajukan eksekusi putusan tersebut. Semestinya selama 6 bulan tersebut, istri selaku Penggugat rekonvensi mempunyai hak juga untuk memohon kepada Majelis guna membuka sidang ikrar thalak dengan memanggil suaminya/Pemohon. Paling tidak panggilan sidang ikrar tersebut akan mengingatkan Pemohon terhadap kewajibannya untuk memenuhi isi putusan. Selain itu sidang tersebut juga bisa sebagai media bagi para pihak atas arahan Majelis untuk bernegosiasi terkait waktu dan cara pemenuhan nafkah istri dan anak.

  1. Pemohon tetap mengucapkan ikrar thalak dalam persidangan namun setelah itu tidak menunaikan kewajibannya sebagaimana isi putusan (biasanya lalai dalam memenuhi nafkah anak).

Gagasan yang telah diangkat oleh YM Tuaka Kamar Agama Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, SH., M.Hum., MM. tentang Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Berbasis Interkoneksi Sistem tentu akan menjadi instrumen yang sangat efektif dalam memastikan terpenuhi hak-hak istri dan anak. Instrumen ini dapat memastikan pihak-pihak yang lalai dalam memberikan nafkah kepada istri dan anaknya akan terblokir dalam sistem yang tersebar dalam 7 layanan instansi, yaitu:

  1. Terblokirnya layanan kependudukan di Kementerian Dalam Negeri;
  2. Terblokirnya layanan paspor di Imigrasi;
  3. Terblokirnya layanan pencairan rekening yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK);
  4. Terblokirnya pengurusan SKCK, bahkan mungkin perpanjangan SIM dan STNK di Kepolisian;
  5. Terblokirnya dari kepesertaan BPJS;
  6. Secara otomatis Bendahara kantor dapat melakukan pemotongan terhadap gaji dan penghasilan PNS, TNI, Polri dan atau karyawan perusahaan;
  7. Tagihan kewajiban terhadap pihak yang lalai dengan berbasis NPWP oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Gagasan yang sangat bagus ini mungkin masih butuh perjuangan yang panjang untuk dapat diterapkan, karena sistem integrasi dan interkoneksi antar banyak instansi tersebut paling tidak memerlukan payung hukum berupa Undang-Undang yang mampu mengatur dan menegaskan pelaksanaannya.

 

Berubahnya Perkara Cerai Thalak Menjadi Cerai Gugat

Ide yang terkesan liar ini mungkin juga bisa menjadi instrumen alternatif dalam memastikan pemenuhan hak istri dan anak. Secara tegas Hukum Acara di Peradilan Agama membedakan jenis, proses dan tata cara antara Cerai Thalak dan Cerai Gugat. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 terakhir diubah dengan Undang-Undang nomor 50 tahun 2009 Cerai Thalak berbentuk permohonan meskipun pada substansinya juga gugatan karena ada pihak yang dijadikan lawan (Termohon), Cerai Thalak diajukan oleh suami dengan tujuan akhirnya adalah suami mengikrarkan thalaknya di depan persidangan. Sedangkan Cerai Gugat (Pasal 73) berbentuk gugatan yang diajukan oleh isteri kepada Pengadilan agar pengadilan menjatuhkan thalak dari suami (Tergugat) kepada istri (Penggugat). Dengan kata lain, hak thalak yang ada pada suami diambil oleh Pengadilan kemudian dijatuhkan kepada istri jika dalil-dalil gugatan istri benar dan terbukti. Dampak dari 2 jenis perceraian tersebut juga berbeda, putusnya perkawinan akibat cerai thalak masih memungkinkan suami istri tersebut untuk rujuk selama masa iddah (3 bulan) tanpa akad nikah baru, tapi jika putusnya perkawinan akibat cerai gugat atau jatuh thalak satu bain, maka dampaknya antara mantan suami istri tersebut tidak dapat rujuk lagi kecuali melalui akad nikah yang baru.

Dalam perkara cerai thalak misalnya jika Termohon mengajukan gugatan rekonvensi dengan petitum minta juga diceraikan maka bisa dipastikan tuntutan cerai dari Termohon/istri tersebut akan ditolak karena Hakim beralasan antara cerai thalak dengan cerai gugat memiliki perbedaan secara prinsip. Berbeda halnya dengan praktek di Pengadilan Negeri, Majelis dapat mengabulkan gugatan cerai dari Penggugat Konvensi sekaligus mengabulkan gugatan cerai dari Penggugat Rekonvensi karena tujuannya sama yaitu putusnya perkawinan.

Dalam kondisi di mana para pihak merasakan perkawinannya tidak lagi dapat diselamatkan, pertengkaran antara para pihak semakin tajam, bahkan cenderung sudah mendatangkan kerusakan, maka wajar saja jika kedua-duanya minta kepada Majelis Hakim untuk memutuskan tali perkawinan mereka. Hanya saja Majelis tidak bisa mengabulkan permintaan keduanya, karena kalau dikabulkan keduanya tentu akan mengacaukan proses akhir dari perceraian itu sendiri.

Dalam perkara cerai thalak yang diajukan oleh pihak suami, ternyata istri selaku Termohon mengajukan gugatan rekonvensi dengan petitumnya meminta nafkah istri dan anak serta memohon agar Majelis menjatuhkan thalak satu bain dari Tergugat kepada Penggugat atau agar Majelis menceraikan Penggugat dengan Tergugat, maka dalam keadaan demikian, penulis berpendapat bisa saja Majelis memilih untuk mengabulkan gugatan rekonvensinya yaitu menjatuhkan thalak satu bain, dengan terlebih dahulu menolak permohonan Pemohon Konvensi untuk diizinkan ikrar thalak, jika memang nyata-nyata dalam proses pembuktian tidak terbukti alasan permohonan cerai Pemohon, sebaliknya dalil-dalil gugatan Rekonvensi berhasil dibuktikan oleh istri sebagai Penggugat Rekonvensi.

Berubahnya hasil akhir dari proses pemeriksaan perceraian dari Cerai Thalak menjadi Cerai Gugat (jatuhnya thalak bain) membuat Pemohon Konvensi/suami tidak dapat lari dari putusan Hakim yang mengatur hak istri dan anak, karena tidak diperlukan lagi proses ikrar thalak dari suami.

 

Permohonan Eksekusi Sebagai Instrumen Efektif Dalam Memastikan Terpenuhinya Hak Istri dan Anak

Eksekusi merupakan tahap akhir dari penyelesaian perkara yang langsung dilaksanakan di bawah pengawasan Ketua Pengadilan. Betapapun bagus dan adilnya suatu putusan, akan sia-sia jika hasil (amar) dari putusan tersebut tidak dapat diwujudkan oleh Pengadilan atau tidak bisa dipetik hasilnya oleh pihak berperkara yang telah mengeluarkan banyak waktu, tenaga, fikiran dan biaya.

Ada 3 jenis eksekusi yang dikenal dalam HIR, RBG, maupun RV, yaitu

  1. Eksekusi pembayaran sejumlah uang, Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBg;
  2. Eksekusi untuk melaksanakan suatu perbuatan, pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg;
  3. Eksekusi Riil diatur dalam Pasal 1033 RV

Permohonan Eksekusi dalam rangka memenuhi hak isteri dan anak masuk kepada jenis eksekusi pembayaran sejumlah uang, eksekusi jenis ini biasanya timbul dalam perkara-perkara di bidang ekonomi, seperti hutang piutang, wanprestasi, Hak Tanggungan, jaminan fidusia dan lain-lain.

Kesamaan dari eksekusi pemenuhan hak istri ini adalah pada sifat dasarnya yaitu meminta pembayaran sejumlah uang kepada Termohon eksekusi, Permohonan eksekusi diajukan agar Termohon membayar kepadanya sejumlah uang yang telah ditetapkan dalam putusan. Untuk memenuhi pembayaran tersebut, Pemohon eksekusi diperbolehkan mengajukan barang-barang yang dimiliki Termohon Eksekusi baik barang bergerak maupun tidak bergerak untuk disita oleh Pengadilan kemudian dijual melalui pelelangan umum dan hasilnya digunakan untuk membayar hutang atau kelalaian pembayaran nafkah anak.

Kendala yang sering terjadi dalam proses eksekusi pemenuhan hak istri dan anak adalah Pemohon eksekusi tidak mengetahui barang-barang yang mau dimintakan eksekusi. Pemohon datang ke Pengadilan mengadukan mantan suaminya yang lalai dalam menafkahi anaknya, bahkan Kuasa Hukum dari Pemohon juga tidak siap dengan apa yang akan dimohon eksekusinya.

Berkaca dari hal tersebut, maka perlu disosialisasikan tentang tahapan dan hal-hal yang perlu dilakukan dalam pengajuan dan proses eksekusi pemenuhan hak perempuan dan anak.

Tahapan dalam proses pengajuan eksekusi pemenuhan hak perempuan dan anak sebagai berikut:

  1. Sebelum mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan, pastikan mantan suami telah diingatkan untuk memenuhi kewajibannya, baik melalui somasi atau tindakan lainnya;
  2. Hitung dan pastikan jumlah kewajiban yang tidak dipenuhi oleh mantan suami berdasarkan isi putusan, misalnya mantan suami telah lalai selama 12 bulan tidak memberikan nafkah anak, sementara dalam putusan kewajibannya per bulan Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka jumlah yang dimintakan eksekusi adalah Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah);
  3. Inventarisir dan identifikasi terlebih dahulu barang-barang milik mantan suami yang senilai dengan kewajibannya, dahulukan meminta eksekusi barang-barang yang bergerak seperti motor dan mobil kemudian kalau tidak ada atau sulit mendapatkannya bisa beralih ke aset berupa tanah atau rumah, bahkan bisa juga ke aset keuangan seperti uang tabungan, deposito, saham, obligasi dan sejenisnya, namun yang terakhir ini mungkin butuh proses yang lebih kompleks.
  4. Jika terhadap barang milik mantan suami telah diletakkan sita pada saat proses perceraian, maka terhadap barang tersebut tinggal diminta untuk dilakukan eksekusi.
  5. Perlu juga diketahui bahwa proses eksekusi pembayaran sejumlah uang setelah dieksekusi harus dijual melalui lelang di muka umum, sehingga harus juga diperhitungkan biaya-biaya untuk proses pelelangan tersebut.

Proses pemenuhan hak perempuan dan anak memang memerlukan proses panjang, terlebih jika mantan suami tidak memiliki kesadaran untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Proses eksekusi bisa dilakukan berkali-kali dikarenakan mantan suami atau seorang ayah tetap membandel untuk secara rutin memberikan nafkah anak hingga anak tersebut dewasa atau mandiri menurut hukum.

Untuk mengantisipasi proses berkali-kali dalam mengajukan eksekusi terhadap barang milik mantan suami, Hakim perlu mempertimbangkan untuk menerima permohonan dari istri yang meminta nafkah anak dibayar sekaligus sejak putusan berkekuatan hukum tetap hingga anak tersebut dewasa, yang selama ini sering ditolak oleh Hakim dengan alasan anak tersebut belum tentu hidup sampai dengan dewasa.

Jika Hakim sudah menghitung biaya hidup anak sampai dewasa dan memasukkannya dalam amar putusan, maka istri dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap barang milik mantan suaminya yang senilai dengan putusan tersebut, sehingga proses eksekusi hanya dilakukan satu kali dan langsung tuntas, tidak ada lagi permasalahan di kemudian hari.

 

Penutup   

Selain perangkat hukum, pengalaman dan kelihaian Hakim dibutuhkan untuk menjamin terpenuhinya hak istri dan anak. Hakim diharapkan mampu menggali kondisi pekerjaan dan penghasilan Pemohon dengan akurat, selain itu Hakim juga mesti mengetahui variabel-variabel dari komponen biaya hidup pada suatu daerah di masa kini dan masa depan. Ukuran mampu dan ma’ruf dalam memberikan nafkah mutlak menjadi indikator besaran nilai nominal yang harus diberikan suami sebagai nafkah bagi mantan istri dan anaknya. Penghukuman kewajiban yang terlalu besar dan jauh diatas penghasilan tentu akan membuat pihak suami lari dari tanggung jawabnya, sebaliknya nilai kewajiban nafkah yang kecil akan merugikan pihak mantan istri dan anak karena tidak cukup dalam menutupi kebutuhan hidupnya.

Published in Artikel
Tagged under
Selasa, 29 November 2022 04:17

Ketika “Romeo-Juliet” Bercerai

( Sekelumit Refleksi tentang Perceraian dan Hakim)

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)

William Shakespeare-lah yang mula-mula mengangkat dua nama itu lewat salah satu karyanya. Keduanya hanya tokoh rekaan tentang pria dan wanita muda yang sedang bercinta dan berakhir tragis. Yang membuat dua nama itu melegenda ialah karena akhir tragis cinta mereka seolah terjadi di dunia nyata. Banyak pasangan pria wanita di dunia yang mengalami nasib laksana kisah asmara Romeo dan Juliet (sering juga ditulis Julia). Di Timur Tengah cerita serupa juga ada dan dikenal dengan tokoh Laila-Majnun. Di Indonesia konon banyak memiliki kisah legenda yang mirip alur kisah Romeo dan Juliet. Tulisan berikut tentu tidak dimaksudkan meresensi “novel” karya pujangga, dramawan, dan aktor Inggris kenamaan yang meninggal 23 April 1616 itu. Akan tetapi, dalam konteks pembicaraan mengenai kandasnya bahtera rumah tangga, wacana berikut tentu masih mempunyai benang merah dengan kedua tokoh tersebut.


Selengkapnya KLIK DISINI

Published in Artikel
Tagged under
Jumat, 07 Oktober 2022 11:55

Sengketa Hak Asuh Anak dan Kesetaraan Gender

Sengketa Hak Asuh Anak dan Kesetaraan Gender

Oleh: Drs.H. Asmu’i, M.H.

IBU itu tentu masyghul dengan putusan pengadilan yang menetapkan hak asuh anak untuk suaminya. Mengapa? Dua orang anak yang ingin diasuhnya itu semua masih belum “mbeneh” (Jawa) atau yang lazim disebut belum mumayyiz. Mumayyiz adalah status hukum yang biasa diberikan para fuqaha untuk menyebut seorang anak yang sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk. Dalam syariat Islam mumayyiz digunakan sebagai salah satu syarat sah dalam beribadah, baik salat puasa maupun lainnya. Menurut Syaikh Mushtafa Ahmad Az-Zarqa’ (1904-1999), seorang Ulama Syiria, mumayyiz adalah masa setelah periode “thufulah”, sebelum menuju baligh. (Republika.co.id 24 Meret 2016)

Terlepas mengenai adanya wacana tentang mumayyiz, sang ibu itu sebelumnya tampaknya sangat optimis bahwa hak asuh jatuh ke pangkuannya. Rasa optimisnya bukan tanpa alasan. Sejumlah pasal-pasal aturan yang ia baca mengenai seluk beluk hak asuh anak ini dengan tegas ‘mendukungnya’. Dalam kondisi anak demikian, memang ada sejumlah pasal mengenai siapa yang berhak mengasuh anak ini, setelah suam istri melakukan perceraian. Pasal 105 ayat huruf (a) Kompilasi Hukum Islam: “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.”


Selengkapnya KLIK DISINI


Published in Artikel
Tagged under
Rabu, 28 September 2022 11:54

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

(Sekelumit Refleksi Seputar Ultra Petita)

Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.

Midun bukan nama sebenarnya mungkin harus menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali ketika membaca “putusan hakim tinggi” yang baru saja ia terima. Upaya hukum yang ia lakukan dengan maksud mendapat keadilan ternyata berbuah kepahitan sekaligus mengherankannya. Mengapa?

Dari semula ia tidak setuju dengan perceraian yang diinginkan istrinya. Perempuan yang dulu dipersunting dan telah melahirkan beberapa putera itu, tampak sangat kecewa kepadanya. Tampaknya ia merasakan perubahan mencolok tentang kepribadian suaminya. Perilaku suami yang dulu sangat baik dan tanggungjawab itu kini dirasakan sangat menyebalkan. Selain tidak mampu memberikan nafkah cukup dia juga sering ‘keluyuran malam’. Yang lebih, menyakitkan istrinya, dia juga sering melakuan kekerasan. Biasanya hal itu terjadi ketika istrinya minta uang saat-saat tertentu, seperti ketika musim ada hajatan, baik oleh tetangga atau keluarga di kampung.


Selengkapnya KLIK DISINI

Published in Artikel
Tagged under
Senin, 15 Agustus 2022 11:53

Anak Angkat dan Harta Warisan

ANAK ANGKAT DAN HARTA WARISAN

Oleh : Drs.H. Asmu'i Syarkowi, M.H.

Pengangkatan anak--yang oleh orang Jawa disebut “mupu anak” dan dalam hukum Barat disebut adopsi-- telah sering  dipraktikkan oleh masyarakat.  Mengapa ‘harus’ mengangkat anak, alasan mereka bisa berbeda-beda. Salah satunya, ada yang karena dalam keluarga memang tidak ada anak. Tidak ada anak bisa karena alasan memang belum memperoleh anak atau—bagi yang secara medis divonis mandul-- memang tidak bisa memperoleh anak. Bagi yang belum dengan mengangkat anak diharapkan dapat segera memperoleh keturunan. Tindakan mengangkat anak dimaksudkan sebagai “pancingan” memperoleh katurunan. Bagi yang memang tidak bisa memperolah anak kandung, dengan mengangkat anak, dimaksudkan agar dapat memperoleh sandaran kelak di hari tua.  Ada pula yang mengngkat anak  semata-mata karena alasan kemanusiaan agar dapat lebih mensejahterakan anak di kemudian hari.

Akan tetapi,  apapun tujuan yang menjadi motivasi mengangkat anak banyak masyarakat yang belum sadar, bahwa tindakan tersebut akan berakibat tidak saja sosial tetapi juga berakibat hukum di kemudian hari. Itulah sebabnya terkait dengan ini pernah terbit beberapa aturan mengenai pengangkatan anak, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, SEMA RI Nomor 6 Tahun 1983, Kepurtusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984, SEMA RI Nomor 3 Tahun 2005,  dan terakhir diberlakukan Keputusan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009, selain mencabut Keputusan Menteri Sosial Nomor 13/HUK/1993 jo Keputusan Menteri Sosial Nomor  2/HUK/1995 merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2007. Pada zaman enjajahan Belanda telah pula terbit Staatsblad 1917 Nomor 129 yang diberlakukan bagi golongan Tionghoa. Lantas, bagaimana menurut  pandangan Islam?


Selengkapnya KLIK DISINI


Published in Artikel
Tagged under

PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

Oleh : Drs. Mufi Ahmad Baihaqi, M.H.

PENDAHULUAN

Manusia juga adalah makhluk sosial (Zoon Politicon), maka sebagai suatu keniscayaan bila tidak saling membutuhkan satu sama lain, saling berinteraksi hingga timbul rasa saling peduli, saling menyayangi, saling mencintai dan berkeinginan untuk hidup bahagia serta memperbanyak keturunan. Keinginan tersebut mempunyai kekuatan pengukuhan dan pengakuan dari komunitas masyarakat bermula dari proses perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dan sebagai refleksi dari pribadi yang religius, dimana suatu hubungan antara dua insan manusia yaitu laki-laki dan perempuan yang telah dewasa memiliki hasrat untuk bersatu dan berjanji dalam ikatan suci sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia serta memperbanyak keturunan.

Indonesia mempunyai ragam budaya, adat istiadat dan agama serta kepercayaan yang berbeda-beda, sudah barang tentunya masing-masing komunitas memiliki aturan yang berbeda-beda pula termasuk didalamnya perkawinan. Prosesi perkawinan yang dikemas dengan aneka ragam tidak bisa dilepaskan dari pengaruh penting agama, kepercayaan dan pengetahuan dari masyarakat dan para pemuka agama yang ada dalam lingkungan di mana masyarakat itu berada. Untuk menyelaraskan aturan hukum yang beraneka ragam tersebut, maka dibuatlah hukum perkawinan nasional sebagai landasan hukum serta aturan pokok dalam perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 UU tersebut menjelaskan pengertian perkawinan yaitu "Perkawinan adalah Ikatan Lahir Batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami/istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Undang-undang Perkawinan tidak secara tegas memberikan ruang perkawinan berbeda agama untuk mendapatkan legalitas, akan tetapi keberadaan kehidupan sepasang insan berbeda agama selayaknya suami istri adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri dan pada kenyataannya banyak pasangan yang ingin hidup bersama sebagai suami istri namun terkendala keadaan agama atau kepercayaan yang berbeda. Ada yang memilih jalan hidup untuk bersama-sama tanpa ikatan perkawinan atau "Kumpul kebo"dengan tetap mempertahankan agama dan keyakinannya masing-masing. Keberadaan tersebut tetap dibiarkan keberadaannya tanpa solusi atau perilaku mereka tersebut dianggap sebagai sampah masyarakat yang harus didekati dengan pendekatan penertiban. Lantas bagaimana dengan akibat dari hubungan mereka yang tidak terlindungi oleh hukum yang berlaku di negeri ini, seperti keberadaan keturunan yang dilahirkan, harta yang ditimbulkan dan hak-hak lainnya. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak akan mendapatkan jalan penyelesaiannya bilamana perkawinan pasangan beda agama tidak tercatat oleh lembaga yang berwenang. Oleh karenanya, artikel ini disusun dalam upaya untuk mengetahui apakah perkawinan yang dilakukan pasangan yang berbeda agama itu dianggap sah oleh negara dan dapat dicatatkan di Kantor dan Pencatatan Sipil.

SELENGKAPNYA KLIK DISINI

Published in Artikel
Tagged under
Kamis, 30 Jun 2022 11:49

Eksistensi Hukum Islam di Indonesia

Eksistensi Hukum Islam di Indonesia

M. Khusnul Khuluq
Hakim PA Sungai Penuh, Jambi

Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum. Hal ini disebutkan secara jelas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara Hukum.” Negara hukum selalu dimaknai dengan adanya norma tertulis yang menjadi landasan bersama. Konsepsi negara hukum meniscayakan hukum tertulis sebagai panglimanya.

Tentang hukum Islam, jika ditilik dari sejarahnya, eksistensi hukum Islam di Indonesia mulai sejak masuknya Islam di nusantara. Paling tidak ada tiga teori tentang ini. Teori Gujarat (India), teori Makkah (Arab) dan teori Persia. Ketiganya terjadi jauh di masa pra kemerdekaan. Sejak masuknya Islam itu, nilainilai hukum Islam telah menjadi norma yang dianut oleh masyarakat nusantara.


Selengkapnya KLIK DISINI

Published in Artikel
Tagged under
Kamis, 05 Mei 2022 15:29

Kalau Sudah Tiada Baru Terasa

Kalau Sudah Tiada Baru Terasa
(Refleksi Puasa Ramadhan)
Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.

Salah satu faidah puasa menurut Syeikh ‘Izzuddin bin Abdis Salam (w. 660 Hijriah) dalam Kitab Maqashid ash-Shaum adalah syukru ‘Alim al-khafiyyat (bersyukur kepada Allah yang Mengetahui segala yang tersembunyi). Ketika seseorang berpuasa, menurut Syeikh ‘Izzuddin, ia menyadari nikmat Allah berupa rasa kenyang dan terlepas dari dahaga. Atas kondisi tersebut, lalu ia bersyukur kepada Allah.

“Fainna an-ni’ama la yu’rafu miqdaruha (sungguh segenap kenikmatan itu tidak disadari nilainya),” tulis Syeikh ‘Izzuddin. “Illa bifaqdiha (kecuali bila sudah tiada),” tutupnya. Betapa banyak yang lupa bersyukur atas nikmatnya sesuap nasi dan seteguk air. Puasa mengingatkan kita akan nikmat tersebut. Dan lebih dari itu, menjadi motivasi untuk selalu bersyukur kepada Allah ta’ala.

Dalam butiran beras yang menjadi nasi lalu kita santap, terkandung moral ketuhanan yang luar biasa. “Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam?” firman Allah dalam Q.S al-Waqi’ah ayat 63. “Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan?” tegas Allah ta’ala. Manusia hanya bertugas menanam. Allah yang berkuasa menjadikannya tumbuh atau mati.

Dalam seteguk air yang kita minum, sungguh terkandung pesan ilahi yang mendalam. “Tidakkah kamu perhatikan air yang kamu minum?” firman Allah masih dalam Q.S al-Waqi’ah. “Kamukah yang menurunkannya (air tersebut) dari awan ataukah Kami yang menurunkan?” lanjut Allah ta’ala. Dua ayat tersebut menegaskan betapa agung kuasa Allah serta betapa lemahnya kita manusia.

Puasa menyadarkan kita akan kenikmatan-kenikmatan yang seringkali tidak kita sadari tersebut. Dengan puasa, kita dilatih untuk berhenti sejenak. Kita menahan nafsu atas hal-hal yang sebenarnya halal. Dengan cara itu, kita menjadi sadar akan nikmat yang selama ini kita rasakan. Atas nikmat yang seringkali tidak kita sadari apalagi mensyukurinya.

Bagi yang berpuasa, sabda Nabi Muhammad Saw, ada dua kebahagiaan. Pertama, saat buka puasa (‘indal ifthar). Kedua, saat berjumpa dengan Allah ta’ala (‘inda liqa-i Rabbihi). Mengapa buka puasa itu membahagiakan? Karena kita merasakan kembali kenikmatan menyantap makan dan minum yang halal. Seolah kita menemukan kembali sesuatu yang hilang. Disitulah kebahagiaan tercipta.

Masalah puasa (dari makan dan minum serta segala yang membatalkan) dapat kita tarik dalam konteks lain. Misalnya kebersamaan dengan keluarga. Tatkala kita selalu bersama seringkali kita tidak sadar bahwa kebersamaan itu adalah kenikmatan. Kita baru sadar nikmatnya bersama saat kita harus “puasa”, berpisah dengan keluarga dalam beberapa masa.

Selaras dengan itu, kaum bijak pandai menasihati. “Jangan sedih dengan perpisahan. Berpisah adalah ikhtiar untuk menabung rindu.” Perpisahan sejatinya adalah “puasa” bertemu. Momen itu menjadi pengingat akan betapa nikmatnya bersama. Bila setelah berpisah dapat bersama kembali, kita akan lebih mampu merasakan nikmatnya kebersamaan. Lalu, mensyukurinya dengan sepenuh hati.

Sama halnya dengan kesehatan. Saat masih sehat, kita lupa itu adalah nikmat. Kita lalai untuk mensyukurinya dengan berbuat taat yang maksimal. Saat kita harus “puasa” sehat alias sakit, kita baru sadar. Betapa nikmatnya sehat. Ujian sakit itu menjadi pengingat. Bila sembuh, sehat kembali, maka sadari nikmat tersebut dan syukuri. Dengan cara berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya.

Kalau sudah tiada baru terasa. Bahwa kehadirannya sungguh berharga. Sebelum nikmat itu tiada, lekaslah kita syukuri dengan sebaik-baiknya. Selagi sempat, selagi dapat. Betapa banyak karib kerabat yang puasa tahun lalu masih bersama kita. Sementara tahun ini sudah tidak bersama kita lagi. Kita yang masih berjumpa Ramadan tahun ini, adakah jaminan untuk Ramadan mendatang?

Ramadan ini menjadi madrasah kita untuk menempa diri. Kita diwajibkan untuk puasa, untuk menahan, untuk imsak, sementara waktu saja. Saat adzan Maghrib berkumandang, kita bergegas berbuka. Apa yang seharian “tiada” menjadi “ada” kembali. Mudah-mudahan kita semakin menyadari betapa banyak nikmat-Nya. Dan terus mensyukurinya dengan tambah taat dan jauh dari maksiat.

Selagi sempat, selagi dapat. Selagi kita masih bertemu Ramadan dalam keadaan sehat. Berpuasa di bulan mulia ini juga sebuah kenikmatan besar. Akan tiba masa dimana kita harus berpuasa selama-lamanya. Saat datang waktu dimana kita harus menghadap keharibaan-Nya. Saat itu, tidak ada lagi kesempatan memperbaiki diri. Karena yang tersisa adalah pertanggungjawaban. 

Published in Artikel
Tagged under
Halaman 1 dari 5
Selamat Datang di Website Resmi Pengadilan Tinggi Agama Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Jam Pelayanan Senin-Kamis : 08.00-16.30 WITA, Jum'at : 07.30-16.30 WITA. Kami telah mendeklarasikan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani. Jika menemukan suatu pelanggaran, silakan laporkan melalui layanan kontak yang tertera di website ini